Pengertian Pajak Pertambahan Nilai atau
PPN
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pajak yang
dipungut oleh Wajib Pajak
Orang Pribadi, Badan, dan Pemerintah yang berstatus Pengusaha
Kena Pajak (PKP) atas transaksi jual-beli BKP dan/atau JKP.
Karena PPN bersifat objektif, tidak kumulatif, dan
merupakan pajak tidak langsung, maka pihak yang membayar pajak ini tidak
diwajibkan menyetorkan langsung ke kas negara, melainkan lewat pihak yang
memotong/memungut PPN.
Subjek PPN yaitu Pengusaha
Kena Pajak (PKP) dan non PKP.
Bedanya, jika sebagai PKP wajib memungut PPN. Sedangkan
Non PKP tidak bisa memungut Pajak Pertambahan Nilai.
Tapi bagi Non PKP, ketika melakukan transaksi barang/jasa
kena PPN tidak bisa mengkreditkan Pajak Masukan.
Baca juga: Aturan Baru
Membuat e-Faktur dan Cara Mengkreditkan Pajak Masukan di UU Cipta Kerja
Peraturan hingga Tarif PPN Terbaru
Ketentuan tentang PPN diatur dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan yang telah mengalami beberapa kali perubahan,
terbaru diatur dalam UU HPP berkaitan dengan besar tarif PPN.
Selain kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai, regulasi
baru ini juga mengatur kembali daftar negative
list atau barang/jasa yang tidak dikenakan PPN.
Artinya, beberapa barang/jasa yang sebelumnya berada dalam
daftar negatif list,
akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Namun pemerintah menegaskan, bagi masyarakat
berpenghasilan menengah dan kecil tetap tidak perlu membayar Pajak Pertambahan
Nilai atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan
layanan sosial.
A. Undang-Undang yang Mengatur Pajak
Pertambahan Nilai
Terdapat beberapa kali perubahan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai di Indonesia.
Adapun perubahan yang terjadi disebabkan karena adanya
pergantian model pemungutan pajak dan peraturan perundang-undangan agar bisa
lebih sederhana dan adil untuk masyarakat termasuk dalam pembuatan Faktur
Pajaknya.
Berikut adalah perubahan UU terkait Paja Pertambahan Nilai
di Indonesia:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah diciptakan untuk mengatur tentang PPN dan
PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) yang disahkan pada 1 April 1985.
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000
Setelah UU No. 8 Tahun 1983, muncul perubahan kedua yaitu
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM.
Perubahan ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan
sistem perpajakan yang tepat untuk masyarakat juga untuk meningkatkan
penerimaan negara.
3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
Perubahan ketiga adalah UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan PPnBM.
Untuk melengkapi kekurangan pada UU Pajak Pertambahan
Nilai sebelumnya, undang-undang ini bertujuan memberikan keadilan hukum dan
keamanan bagi negara dan masyarakat dengan sistem perpajakan yang jauh lebih
sederhana.
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Meski ketentuan baru tentang Pajak Pertambahan Nilai ini
juga diatur kembali dalam UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada klaster
perpajakan, namun UU 42 Tahun 2009 sebagian masih berlaku.
Ada beberapa bagian pasal dalam UU Cipta Kerja klaster
perpajakan ini yang mengubah atau menambahkan beberapa pasal dari undang-undang
pendahulunya.
5. Terbaru dalam UU HPP No. 7 Tahun 2021
Peraturan perundang-undangan perpajakan tentang PPN
tertuang dalam UU HPP No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan.
B. Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai di
Indonesia
Secara teknis, mekanisme yang berlaku terhadap PPN di
Indonesia sebagai berikut:
1. PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP wajib memungut
Pajak Pertambahan Nilai dari pembeli/penerima BKP/JKP, dan membuat Faktur Pajak
sebagai bukti pemungutannya.
2. Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur
Pajak tersebut merupakan Pajak Keluaran bagi PKP Penjual BKP/JKP, yang sifatnya
sebagai pajak yang harus dibayar (utang pajak).
3. Pada waktu PKP melakukan pembelian/perolehan BKP/JKP
yang dikenakan PPN yang merupakan Pajak Masukan yang sifatnya sebagai pajak
yang dibayar di muka, sepanjang BKP/JKP yang dibeli tersebut berhubungan
langsung dengan kegiatan usahanya.
4. Untuk setiap Masa Pajak (setiap bulan), apabila jumlah
Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya
harus disetor ke Kas Negara paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai disampaikan.
Dan sebaliknya, apabila jumlah Pajak Masukan lebih besar
daripada Pajak Keluaran, maka selisih tersebut dapat dikompensasi
ke masa pajak berikutnya.
Restitusi hanya dapat diajukan pada akhir tahun buku.
Hanya PKP yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (4b) UU Nomor 42 Tahun
2009 saja yang dapat mengajukan restitusi untuk setiap Masa
Pajak.
5. PKP di atas wajib menyampaikan SPT Masa PPN setiap
bulan ke KPP terkait paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya
Masa Pajak.
C. Fungsi PPN
Seperti yang sudah disinggung di atas, Pajak Pertambahan
Nilai memang dikenakan pada konsumen akhir, namun harus dipungut dan disetorkan
oleh PKP.
Karena telah memungut dan menyetorkan pajak pertambahan
nilai atas transaksi barang dan jasa kena pajak, maka PKP juga wajib melaporkan
PPN Terutang.
Untuk mengetahui nilai Pajak Pertambahan Nilai Terutang
sebelum melapor dan menyetorkan pemungutan pajak pertambahan nilai tersebut,
maka PKP harus menghitung jumlah PPN Keluaran yang dikurangi dengan PPN
Masukan.
Selisih pajak masukan dan pajak keluaran tersebut menjadi
nilai yang harus disetorkan atau menjadi pengkreditan pajak untuk masa pajak
berikutnya.
Dengan demikian, bisa diartikan bahwa fungsi PPN adalah:
1. Fungsi PPN untuk perhitungan kekurangan pajak atau
kelebihan pajak
Fungsi utama PPN Masukan dan Keluaran adalah sebagai
perhitungan untuk mengetahui seberapa besar jumlah pajak yang harus dibayarkan
ke negara atau justru dapat diajukan sebagai kompensasi kelebihan pembayaran
PPN.
Jika Pajak Masukan lebih besar dari Pajak Keluaran, maka
PKP dapat mengajukan kelebihan bayar PPN pada perhitungan masa pajak berikutnya
atau mengkreditkan PPN lebih bayar ke masa pajak berikutnya.
Sebaliknya, jika Pajak Keluaran lebih besar dibanding
Pajak Masukan, maka PKP wajib menyetorkan PPN Terutang tersebut ke kas negara.
2. Fungsi PPN sebagai fungsi anggaran
Fungsi Pajak Pertambahan Nilai juga sebagai fungsi
anggaran mengingat pajak yang disetorkan ke negara jadi salah satu sumber
penerimaan negara yang dananya digunakan untuk membiayai negara.
3. Fungsi PPN sebagai fungsi regulasi pemerintah
Fungsi PPN berikutnya adalah untuk mengatur dan
melaksanakan kebijakan pemerintah terutama dalam bidang sosial ekonomi, seperti
untuk menekan importasi guna meningkatkan daya saing produk buatan Indonesia di
pasar dalam negeri.
4. Fungsi PPN sebagai fungsi stabilitas penerimaan negara
Fungsi PPN selanjutnya sebagai penerimaan negara yang
berfungsi menjaga stabilitas ekonomi seperti menekan inflasi dan lainnya.
5. Fungsi PPN sebagai fungsi pembiayaan negara
Fungsi PPN juga sebagai pembiayaan pengeluaran umum dan
pembangunan nasional, salah satunya menciptakan lapangan pekerjaan dan lainnya.
D. Objek PPN (Pajak Pertambahan Nilai)
Jika ada objek yang dikenakan pajak, maka kebalikannya,
juga akan ada objek yang dibebaskan dari pengenaan pajak.
Berikut adalah objek dan yang dikecualikan dari PPN alias
yang masuk dalam daftar negative list PPN:
1. Barang/Jasa yang Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
·
Penyerahan Barang Kena Pajak (BPK) dan Jasa Kena Pajak
(JKP) di dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
·
Impor Barang Kena Pajak.
·
Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean.
·
Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di
dalam daerah pabean.
·
Ekspor Barang Kena
Pajak berwujud atau tidak berwujud dan ekspor Jasa Kena Pajak
oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
·
Kegiatan
Membangun Sendiri bangunan dengan luas lebih dari 200m2 yang
dilakukan di luar lingkungan perusahaan dan/atau pekerjaan oleh Orang Pribadi
atau Badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain.
·
Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, sepanjang Pajak Masukan yang dibayar pada saat perolehan
aktiva tersebut boleh dikreditkan.
2. Daftar Negatif List atau Bebas PPN
Tidak semua barang atau jasa dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai, ada sejumlah BKP/JKP yang masuk dalam daftar negative list atau
tidak dikenakan PPN.
Pengecualian Pajak Pertambahan Nilai ini dikenakan
terhadap barang/jasa tertentu yang diatur dalam UU Pajak Pertambahan Nilai.
a. Barang Tidak Kena Pajak
·
Barang hasil pertambangan atau pengeboran (minyak mentah,
asbes, batu bara, gas bumi, dan lain-lain).
·
Barang Kebutuhan Pokok (beras, jagung, susu, daging,
kedelai, sayuran, dan lainnya).
·
Makanan dan minuman yang disajikan di rumah makan atau
restoran.
·
Uang dan emas batangan.
b. Jasa Tidak Kena Pajak
·
Jasa pelayanan medis
·
Jasa pelayanan sosial
·
Jasa keuangan
·
Jasa asuransi
·
Jasa keagamaan
·
Jasa pendidikan
·
Jasa kesenian dan hiburan
·
Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
·
Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan
udara
·
Jasa perhotelan
·
Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum
·
Jasa penyediaan tempat parkir
·
Jasa boga atau katering
3. Barang/Jasa yang Dikeluarkan dari Daftar Negative List PPN
dalam UU HPP
Seperti yang sudah disinggung di atas, dalam UU HPP ini
memang dilakukan perluasan objek PPN.
Artinya, barang/jasa kena pajak dalam daftar negative list dikeluarkan
dari pembebasan PPN, seperti:
·
Kebutuhan pokok
·
Jasa kesehatan
·
Jasa pendidikan
·
Jasa pelayanan sosial
·
Beberapa jenis jasa lainnya
Namun, UU HPP juga menegaskan bagi masyarakat
berpenghasilan menengah dan kecil, tetap tidak perlu membayar atas konsumsi
kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial tersebut.
E. Dasar Pengenaan Tarif Pajak PPN
Untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai digunakan nilai yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak ( DPP ).
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sendiri terdiri dari:
1. Harga Jual
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya
yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena
Pajak.
2. Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya
yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena
Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
3. Nilai Impor
Nilai Impor adalah uang yang digunakan sebagai dasar
penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor
Barang Kena Pajak.
4. Nilai Ekspor
Nilai Ekspor adalah uang atau biaya yang diminta oleh
eksportir.
5. Nilai Lain
Nilai Lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan
sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang diatur oleh Menteri Keuangan.
DPP PPN (Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai) yang
diatur dalam Pasal 9 ayat 1 sebagai berikut:
·
Untuk penyerahan BKP atau pemanfaatan BKP tidak berwujud,
DPP-nya adalah jumlah harga jual.
·
Untuk pengimporan BKP, DPP-nya adalah nilai impor
(definisi nilai impor lihat Pasal 1 angka 20 UU PPN).
·
Untuk pengeksporan BKP, DPP-nya adalah nilai ekspor.
·
Untuk kasus penyerahan BKP/JKP tertentu, DPP-nya adalah
nilai lain. Nilai lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan Menteri Keuangan
sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas jenis penyerahan BKP/JKP
tertentu.
F. Tarif PPN Terbaru 11% dan Kapan Tarif 12%
Berlaku?
Tarif Pajak Pertambahan Nilai terbagi menjadi dua yaitu
tarif umum dan tarif khusus.
Sesuai Pasal 7 UU PPN No. 42 Tahun 2009 disebutkan besar
tarif PPN sebagai berikut:
1.
Tarif umum 10% untuk penyerahan dalam negeri
2.
Tarif khusus PPN Ekspor 0%
diterapkan atas ekspor BKP berwujud maupun tidak berwujud, dan ekspor JKP.
3.
Tarif Pajak sebesar 10% dapat berubah menjadi lebih
rendah, yaitu 5% dan paling tinggi 15% sebagaimana diatur oleh Peraturan
Pemerintah.
Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan ( UU HPP ), pemerintah
menaikkan tarif PPN secara bertahap, yakni:
1. Tarif Umum
·
Tarif PPN 11% berlaku mulai 1 April 2022
·
Tarif PPN 12% paling lambat diberlakukan 1 Januari 2025
2. Tarif Khusus
Sedangkan tarif khusus untuk kemudahan dalam pemungutan
PPN, atas jenis barang/jasa tertentu aau sektor usaha tertentu diterapkan tarif
PPN final, misalnya 1%, 2% atau 3% dari peredaran usaha, yang diatur dengan
PMK.
Fasilitas Pajak
Pertambahan Nilai yang Bisa Dimanfaatkan PKP
Setidaknya ada beberapa fasilitas atau insentif Pajak
Pertambahan Nilai yang bisa dimanfaatkan oleh PKP, di antaranya:
1. PPN Tidak Dipungut dan Dibebaskan
Pembebasan PPN diberikan pada Pengusaha Kena Pajak:
·
PKP yang menyerahkan barang/jasa kena pajak tertentu
·
Penyerahan pada perwakilan negara asing
·
Penyerahan pada badan internasional
·
Penyerahan dengan asas timbal balik/resiprokal
Sedangkan PPN tidak dipungut diberikan untuk penyerahan
terkait dengan kawasan ekonomi tertentu.
Fasilitas pembebasan tarif Pajak Pertambahan Nilai ini
diatur dalam UU PPN Pasal 16B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 jo. UU No.
42/2009.
PPN yang dibebaskan ini memiliki kode transaksi 08,
sementara yang tidak dipungut memiliki kode transaksi 07.
2. Fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah (DTP)
Insentif PPN DTP diberikan pada sektor properti yang
diatur dalam PMK No.103/PMK.03/2021.
Insentif Pajak Pertambahan Nilai DTP properti ini
diberikan untuk penyerahan rumah tapak baru dan unit hunian rumah susun baru.
·
Diskon DTP
properti 100% untuk Pajak Pertambahan Nilai rumah atau unit
dengan harga jual paling tinggi Rp2 miliar.
·
Diskon PPN DTP properti sebesar 50% untuk rumah atau unit
dengan harga di atas Rp2 miliar – Rp5 miliar.
3. PPN Tarif 0%
Pengenaan PPN 0% diberikan pada ekspor barang/jasa kena
pajak, yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pajak Pertambahan Nilai.
Pemberian insentif PPN 0% dilakukan perluasan jenis ekspor
jasa kena pajak (JKP), yang mulai berlaku sejak 29 Maret 2021, diatur dalam PMK
No. 32/PMK.03/2019.
G. Rumus Dan Cara Menghitung Tarif PPN
Perhitungan PPN yang terutang dilakukan dengan cara
mengalikan tarif pajak dengan Dasar
Pengenaan Pajak ( DPP ).
Proses perhitungan tersebut dapat diilustrasikan sebagai
berikut:
Pajak
Pertambahan Nilai = Tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak ( DPP )
Dasar pengenaan pajak terdiri dari:
1. Harga jual & penggantian
Harga jual dan penggantian adalah biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP/JKP.
2. Nilai ekspor & impor
Nilai ekspor dan impor adalah nilai yang menjadi dasar
penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan kepabeanan dan cukai untuk impor BKP
atau semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
3. Nilai lain
Sedangkan nilai lain ini diatur dengan atau berdasarkan
PMK hanya untuk menjamin rasa keadilan yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
Contoh kasus 1:
Jika di dalam harga jual atau penggantian atau nilai lain
belum termasuk PPN, perhitungannya sebagai berikut:
Pada tanggal 3 Juli 2022 terjadi transaksi: PKP PT AAA di
Semarang menjual 1 buah kulkas seharga Rp6.000.000 belum termasuk Pajak
Pertambahan Nilai kepada Bapak Kelik di Magelang.
Transaksi menjual di Semarang adalah penyerahan di dalam
daerah pabean. Kulkas adalah barang kena pajak, yang menyerahkan kulkas adalah
pengusaha kena pajak. Jadi transaksi atau peristiwa ini dikenai PPN.
Transaksi ini tidak mendapat fasilitas PPN tidak dipungut
atau dibebaskan.
Besarnya PPN terutang atas penyerahan kulkas pada tanggal
3 Juli 2022 di Semarang dihitung oleh PKP PT AAA di Semarang untuk dipungut
dengan Faktur Pajak sebagai
berikut:
Harga Jual/DPP PPN x Tarif PPN
= Rp6.000.000 x 11%
PPN terutang
= Rp 660.000
Bapak Kelik harus membayar ke PKP PT AAA sebesar
Rp6.660.000, yang terdiri atas harga kulkas Rp6.000.000 dan Pajak Pertambahan
Nilai Rp660.000.
Contoh kasus 2:
Jika di dalam harga jual atau penggantian atau nilai lain
sudah termasuk PPN, perhitungannya sebagai berikut:
Pada tanggal 13 April 2022 PKP PT BBB di Surabaya menerima
tagihan jasa akuntansi termasuk Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp132.000.000
dari PKP PT CCC di Bandung yang memberikan jasa akuntansi.
Transaksi menagih jasa akuntansi di Bandung adalah
penyerahan di dalam daerah pabean, jasa akuntansi adalah jasa kena pajak, yang
memberikan jasa akuntansi adalah pengusaha kena pajak. Jadi transaksi itu
dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Transaksi ini tidak mendapat fasilitas PPN tidak dipungut
atau dibebaskan, sehingga besarnya PPN terutang atas penyerahan jasa akuntansi
pada tanggal 13 April 2022 di Bandung dihitung oleh PKP PT CCC di Bandung untuk
dipungut dengan Faktur Pajak sebagai
berikut:
Harga jual termasuk Pajak Pertambahan Nilai =
Rp132.000.000
DPP =
100 x harga jual
termasuk PPN
100
+ % tarif PPN
= 100 x
Rp132.000.000
110
=
Rp120.000.000
PPN terutang = DPP PPN x Tarif PPN
= Rp120.000.000 x 11%
= Rp13.200.000
Jadi, PPN dipungut oleh PKP PT CCC Bandung sebesar
Rp13.200.000
Contoh Kasus 3:
Pada Oktober 2022, PT AAA menjual tunai Barang Kena
Pajak dengan Harga Jual Rp25.000.000 pada PT BBB.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 11% x Rp25.000.000
= Rp2.750.000
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.750.000 tersebut
merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak PT AAA dari PT
BBB.
Selengkapnya cara menghitung PPN dan mengelola Faktur
Pajaknya, baca Panduan
Lengkap Alur Pengelolaan eFaktur PPN
Ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Jasa Luar Negeri
Pada Pajak Pertambahan Nilai terdapat beberapa objek yang
termuat di dalamnya seperti PPN dalam sektor ekspor dan impor Barang Kena Pajak
(BKP).
Selain itu juga pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) baik
dari dalam maupun luar Daerah Pabean atau Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean maupun PPN Jasa Luar Negeri.
a. Ketentuan Aturan PPN Jasa Luar Negeri
Selanjutnya, terdapat aturan tentang batasan untuk
transaksi Jasa Kena Pajak dari luar negeri yang diatur dalam pasal 4 Ayat 1
SE-147/PJ/2010, bahwa Pajak Pertambahan Nilai akan dikenakan atas Jasa Luar
Negeri dengan ketentuan sebagai berikut:
1.
Penyerahan dilakukan oleh Orang Pribadi atau Badan yang
bertempat tinggal di luar Daerah Pabean.
2.
Pengenaan Jasa Luar Negeri dapat dilakukan di dalam maupun
di luar Daerah Pabean, selama kegiatan pemanfaatan jasa tidak menyebabkan Orang
Pribadi atau Badan yang bertempat tinggal di luar Daerah Pabean menjadi subjek
pajak dalam negeri.
3.
Aktivitas pemanfaatan Jasa Luar Negeri dilakukan di dalam
Daerah Pabean.
4.
Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar negeri dimanfaatkan oleh
siapapun dalam Daerah Pabean.
5.
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri tidak
melihat status penggunanya, baik Orang Pribadi maupun Badan, atau telah menjadi
Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun belum.
Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri bisa terutang,
sebab terjadi ketika pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sedang
dalam proses pembayaran atau baru saja dimulai.
Dengan catatan pembayaran tersebut diterima sebelum
penyerahan Jasa Luar Negeri.
b. Ketentuan Waktu Pemanfaatan Jasa Luar Negeri
1.
Waktu pemanfaatan jasa merupakan saat dimana Jasa Luar
Negeri tersebut digunakan secara nyata digunakan oleh pihak yang
berkepentingan.
2.
Jasa Luar Negeri dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang
memanfaatkannya.
3.
Terjadi penggantian Jasa Kena Pajak ditagih oleh pihak
yang menyerahkan.
4.
Harga perolehan Jasa Kena Pajak dibayar baik sebagian atau
seluruhnya oleh pengguna. Ditandatanganinya kontrak dan perjanjian yang telah
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
5.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penggunaan Jasa
Luar Negeri harus disetor paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat
terutangnya pajak.
c. Cara Menghitung PPN Jasa Luar Negeri
Tarif PPN x
jumlah yang seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Jasa Luar
Negeri
Selain itu, cara tersebut dapat diterapkan antara pihak
pemberi Jasa Luar Negeri dan pihak penerima sesuai kesepakatan.
Contoh Kasus
Perusahaan BBB memiliki beban untuk membayar jasa tenaga
ahli dari Singapura yang telah memberikan pelatihan pengembangan personality pada
perusahaannya.
Harta tenaga ahli tersebut adalah sebesar Rp600.000.000.
Sementara tenaga ahli yang disebutkan meminta jumlah gaji
yang diterima harus jumlah bersih termasuk potongan Pajak Pertambahan Nilai.
Tarif PPN yang digunakan sesuai UU HPP yang sebesar 11%.
Sehingga dalam hal ini, Sobat Klikpajak dapat menerapkan
rumus kedua yaitu 11/100 x Rp600.000.000, untuk menetapkan jumlah Pajak
Pertambahan Nilai yang menjadi beban dan harus dibayarkan untuk jasa tenaga
kerja ahli tersebut.
Dari perhitungan tersebut, maka PPN atas pembayaran jasa
tenaga ahli dari Singapura itu sebesar Rp66.000.000.
Kapan saat Terutangnya Tarif PPN?
Saat terutangnya PPN adalah ketika transaksi barang/jasa
kena pajak dalam tahap seperti berikut:
1.
BKP berwujud diserahkan langsung ke pembeli atau pihak
ketiga untuk dan atas nama pembeli
2.
BKP berwujud/JKP diserahkan langsung ke penerima barang
pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri, dan penyerahan antar cabang
3.
BKP berwujud diserahkan ke juru kirim atau pengusaha jasa
angkutan (kurir)
4.
Penyerahan BKP berwujud berdasarkan hukum dan sifatnya
berupa barang tidak bergerak terjadi saat penyerahan hak untuk menggunakan atau
menguasai BKP berwujud tersebut
5.
Impor BKP yang terjadi saat BKP dimasukkan ke dalam daerah
pabean
6.
Pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP dari luar pabean
7.
Perjanjian atau kontrak ditandatangani atau saat mulai
tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, sebagian, atau
seluruhnya atas BKP tidak berwujud/JKP
8.
Harga atas penyerahan BKP berwujud atau tidak berwujud/JKP
diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau saat diterbitkannya Faktur
Penjualan sesuai prinsip akuntansi yang berlaku umum dan
diimplementasikan secara konsisten.
Temukan cara kelola Faktur Pajak lebih cepat langsung
tarik data dari laporan keuangan online hanya di e-Faktur
Klikpajak. Coba & buktikan sekarang!
Siapa yang Menyetor dan Melaporkan PPN?
Sebagai pemungut PPN atas transaksi penjualan barang/jasa
kena pajak, PKP wajib menyetorkan PPN terutang atas pemungutan/pemotongan PPN
tersebut dan melaporkan pemungutan pajak pertambahan nilai tersebut setiap
akhir masa pajak berikutnya.
Batas akhir pelaporan dan penyetoran PPN adalah setiap
akhir bulan masa pajak berikutnya.
Anda juga dapat melihat jadwal pembayaran dan pelaporan
pajak lebih mudah dalam Kalender
Pajak Klikpajak.
a. Cara Lapor Pajak
Pertambahan Nilai PPN
Perlu diingat bahwa lapor Pajak Pertambahan Nilai atau
lapor PPN tidak bisa lagi menggunakan e-Filing, melainkan harus lewat e-Faktur.
Untuk mengetahui langkah-langkah cara lapor PPN, ikuti
tutorial berikut ini:
·
Cara
Pelaporan SPT Masa PPN Terbaru di e-Faktur Klikpajak
b. Cara Membuat
Faktur Pajak
Seperti diketahui, DJP telah mewajibkan pengguna
e-Faktur untuk melakukan update e-Faktur
3.0 menggantikan e-Faktur 2.2 mulai 1 Oktober 2020.
WP PKP yang selama ini menggunakan aplikasi e-Faktur Client Desktop DJP,
harus install dan download patch terbaru
untuk update e-Faktur
3.0 pada perangkat komputernya agar bisa membuat eFaktur.
Perhatikan, meskipun PKP pengguna e-Faktur Client
Desktop sudah update e-Faktur 3.0, tapi tetap harus
berpindah ke aplikasi e-Faktur Web Based DJP di web-efaktur.pajak.go.id saat
akan melaporkan SPT Masa PPN.
DJP memindahkan platform pelaporan SPT Masa PPN ke
aplikasi e-Faktur.
Jadi, ingat ya… lapor SPT Masa PPN tidak bisa lagi di
e-Filing. Tapi wajib di e-Faktur.
Update sistem terbaru e-Faktur 3.0 DJP ini juga harus
dilakukan pada server PJAP mitra resmi DJP, seperti
Klikpajak.id.
Ketika Anda
menggunakan e-Faktur Klikpajak, bukan hanya dapat langsung memanfaatkan
fitur prepopulated e-Faktur untuk kelola Faktur Pajaknya, tapi
juga bisa lapor SPT Masa PPN di e-Faktur tanpa keluar atau pindah platform.
Terbaru, DJP kembali memperbarui sistem e
Faktur terbaru pada eFaktur 3.1.
Dalam sistem e-Faktur 3.1 ini ada beberapa perubahan dalam
pengelolaan Faktur Pajak elektronik.
c. Cara
Bayar/Setor Pajak Pertambahan Nilai Mudah & Cepat
Setelah mengetahui tentang Pajak Pertambahan Nilai hingga
tarif terbaru serta apa saja barang/jasa yang dikeluarkan dari daftar negative list PPN,
berikut Anda akan mengetahui cara setor atau bayar PPN dengan mudah dan cepat
melalui e-Billing
Klikpajak.
Ingat, sebelum bayar atau setor pajak ke kas negara, Anda
harus membuat Kode Billing dari DJP terlebih dahulu sebagai syarat bayar pajak.
Setelah mendapatkan Kode Billing dari DJP, selanjutnya
membayar/menyetor pajak melalui ATM, internet banking atau teller bank/pos
persepsi.
Kini ada cara mudah dan cepat bayar/setor PPN terutang.
Anda dapat menyetorkan
PPN terutang langsung dari halaman SPT Masa di e-Faktur Klikpajak.