Minggu, 14 Mei 2023

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

 

Pengertian Pajak Pertambahan Nilai atau PPN

Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pajak yang dipungut oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, Badan, dan Pemerintah yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas transaksi jual-beli BKP dan/atau JKP.

Karena PPN bersifat objektif, tidak kumulatif, dan merupakan pajak tidak langsung, maka pihak yang membayar pajak ini tidak diwajibkan menyetorkan langsung ke kas negara, melainkan lewat pihak yang memotong/memungut PPN.

Subjek PPN yaitu Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan non PKP.

Bedanya, jika sebagai PKP wajib memungut PPN. Sedangkan Non PKP tidak bisa memungut Pajak Pertambahan Nilai.

Tapi bagi Non PKP, ketika melakukan transaksi barang/jasa kena PPN tidak bisa mengkreditkan Pajak Masukan.

Baca juga: Aturan Baru Membuat e-Faktur dan Cara Mengkreditkan Pajak Masukan di UU Cipta Kerja

Peraturan hingga Tarif PPN Terbaru

Ketentuan tentang PPN diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang telah mengalami beberapa kali perubahan, terbaru diatur dalam UU HPP berkaitan dengan besar tarif PPN.

Selain kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai, regulasi baru ini juga mengatur kembali daftar negative list atau barang/jasa yang tidak dikenakan PPN.

Artinya, beberapa barang/jasa yang sebelumnya berada dalam daftar negatif list, akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Namun pemerintah menegaskan, bagi masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil tetap tidak perlu membayar Pajak Pertambahan Nilai atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial.

A. Undang-Undang yang Mengatur Pajak Pertambahan Nilai

Terdapat beberapa kali perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia.

Adapun perubahan yang terjadi disebabkan karena adanya pergantian model pemungutan pajak dan peraturan perundang-undangan agar bisa lebih sederhana dan adil untuk masyarakat termasuk dalam pembuatan Faktur Pajaknya.

Berikut adalah perubahan UU terkait Paja Pertambahan Nilai di Indonesia:

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983

UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diciptakan untuk mengatur tentang PPN dan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) yang disahkan pada 1 April 1985.

2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000

Setelah UU No. 8 Tahun 1983, muncul perubahan kedua yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM.

Perubahan ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang tepat untuk  masyarakat juga untuk meningkatkan penerimaan negara.

3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009

Perubahan ketiga adalah UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan PPnBM.

Untuk melengkapi kekurangan pada UU Pajak Pertambahan Nilai sebelumnya, undang-undang ini bertujuan memberikan keadilan hukum dan keamanan bagi negara dan masyarakat dengan sistem perpajakan yang jauh lebih sederhana.

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020

Meski ketentuan baru tentang Pajak Pertambahan Nilai ini juga diatur kembali dalam UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada klaster perpajakan, namun UU 42 Tahun 2009 sebagian masih berlaku.

Ada beberapa bagian pasal dalam UU Cipta Kerja klaster perpajakan ini yang mengubah atau menambahkan beberapa pasal dari undang-undang pendahulunya.

5. Terbaru dalam UU HPP No. 7 Tahun 2021

Peraturan perundang-undangan perpajakan tentang PPN tertuang dalam UU HPP No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

B. Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia

Secara teknis, mekanisme yang berlaku terhadap PPN di Indonesia sebagai berikut:

1. PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai dari pembeli/penerima BKP/JKP, dan membuat Faktur Pajak sebagai bukti pemungutannya.

2. Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Keluaran bagi PKP Penjual BKP/JKP, yang sifatnya sebagai pajak yang harus dibayar (utang pajak).

3. Pada waktu PKP melakukan pembelian/perolehan BKP/JKP yang dikenakan PPN yang merupakan Pajak Masukan yang sifatnya sebagai pajak yang dibayar di muka, sepanjang BKP/JKP yang dibeli tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya.

4. Untuk setiap Masa Pajak (setiap bulan), apabila jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke Kas Negara paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.

Dan sebaliknya, apabila jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak Keluaran,  maka selisih tersebut dapat dikompensasi ke masa pajak berikutnya.

Restitusi hanya dapat diajukan pada akhir tahun buku. Hanya PKP yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (4b) UU Nomor 42 Tahun 2009 saja yang dapat mengajukan restitusi untuk setiap Masa Pajak.

5. PKP di atas wajib menyampaikan SPT Masa PPN setiap bulan ke KPP terkait paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.

C. Fungsi PPN

Seperti yang sudah disinggung di atas, Pajak Pertambahan Nilai memang dikenakan pada konsumen akhir, namun harus dipungut dan disetorkan oleh PKP.

Karena telah memungut dan menyetorkan pajak pertambahan nilai atas transaksi barang dan jasa kena pajak, maka PKP juga wajib melaporkan PPN Terutang.

Untuk mengetahui nilai Pajak Pertambahan Nilai Terutang sebelum melapor dan menyetorkan pemungutan pajak pertambahan nilai tersebut, maka PKP harus menghitung jumlah PPN Keluaran yang dikurangi dengan PPN Masukan.

Selisih pajak masukan dan pajak keluaran tersebut menjadi nilai yang harus disetorkan atau menjadi pengkreditan pajak untuk masa pajak berikutnya.

Dengan demikian, bisa diartikan bahwa fungsi PPN adalah:

1. Fungsi PPN untuk perhitungan kekurangan pajak atau kelebihan pajak

Fungsi utama PPN Masukan dan Keluaran adalah sebagai perhitungan untuk mengetahui seberapa besar jumlah pajak yang harus dibayarkan ke negara atau justru dapat diajukan sebagai kompensasi kelebihan pembayaran PPN.

Jika Pajak Masukan lebih besar dari Pajak Keluaran, maka PKP dapat mengajukan kelebihan bayar PPN pada perhitungan masa pajak berikutnya atau mengkreditkan PPN lebih bayar ke masa pajak berikutnya.

Sebaliknya, jika Pajak Keluaran lebih besar dibanding Pajak Masukan, maka PKP wajib menyetorkan PPN Terutang tersebut ke kas negara.

2. Fungsi PPN sebagai fungsi anggaran

Fungsi Pajak Pertambahan Nilai juga sebagai fungsi anggaran mengingat pajak yang disetorkan ke negara jadi salah satu sumber penerimaan negara yang dananya digunakan untuk membiayai negara.

3. Fungsi PPN sebagai fungsi regulasi pemerintah

Fungsi PPN berikutnya adalah untuk mengatur dan melaksanakan kebijakan pemerintah terutama dalam bidang sosial ekonomi, seperti untuk menekan importasi guna meningkatkan daya saing produk buatan Indonesia di pasar dalam negeri.

4. Fungsi PPN sebagai fungsi stabilitas penerimaan negara

Fungsi PPN selanjutnya sebagai penerimaan negara yang berfungsi menjaga stabilitas ekonomi seperti menekan inflasi dan lainnya.

5. Fungsi PPN sebagai fungsi pembiayaan negara

Fungsi PPN juga sebagai pembiayaan pengeluaran umum dan pembangunan nasional, salah satunya menciptakan lapangan pekerjaan dan lainnya.

D. Objek PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

Jika ada objek yang dikenakan pajak, maka kebalikannya, juga akan ada objek yang dibebaskan dari pengenaan pajak.

Berikut adalah objek dan yang dikecualikan dari PPN alias yang masuk dalam daftar negative list PPN:

1. Barang/Jasa yang Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai

·         Penyerahan Barang Kena Pajak (BPK) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.

·         Impor Barang Kena Pajak.

·         Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

·         Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

·         Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).

·         Kegiatan Membangun Sendiri bangunan dengan luas lebih dari 200m2 yang dilakukan di luar lingkungan perusahaan dan/atau pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain.

·         Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Masukan yang dibayar pada saat perolehan aktiva tersebut boleh dikreditkan.

2. Daftar Negatif List atau Bebas PPN

Tidak semua barang atau jasa dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, ada sejumlah BKP/JKP yang masuk dalam daftar negative list atau tidak dikenakan PPN.

Pengecualian Pajak Pertambahan Nilai ini dikenakan terhadap barang/jasa tertentu yang diatur dalam UU Pajak Pertambahan Nilai.

a. Barang Tidak Kena Pajak

·         Barang hasil pertambangan atau pengeboran (minyak mentah, asbes, batu bara, gas bumi, dan lain-lain).

·         Barang Kebutuhan Pokok (beras, jagung, susu, daging, kedelai, sayuran, dan lainnya).

·         Makanan dan minuman yang disajikan di rumah makan atau restoran.

·         Uang dan emas batangan.

b. Jasa Tidak Kena Pajak

·         Jasa pelayanan medis

·         Jasa pelayanan sosial

·         Jasa keuangan

·         Jasa asuransi

·         Jasa keagamaan

·         Jasa pendidikan

·         Jasa kesenian dan hiburan

·         Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan

·         Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara

·         Jasa perhotelan

·         Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum

·         Jasa penyediaan tempat parkir

·         Jasa boga atau katering

3. Barang/Jasa yang Dikeluarkan dari Daftar Negative List PPN dalam UU HPP

Seperti yang sudah disinggung di atas, dalam UU HPP ini memang dilakukan perluasan objek PPN.

Artinya, barang/jasa kena pajak dalam daftar negative list dikeluarkan dari pembebasan PPN, seperti:

·         Kebutuhan pokok

·         Jasa kesehatan

·         Jasa pendidikan

·         Jasa pelayanan sosial

·         Beberapa jenis jasa lainnya

Namun, UU HPP juga menegaskan bagi masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil, tetap tidak perlu membayar atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial tersebut.

E. Dasar Pengenaan Tarif Pajak PPN

Untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai digunakan nilai yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak ( DPP ).

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sendiri terdiri dari:

1. Harga Jual

Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak.

2. Penggantian

Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.

3. Nilai Impor

Nilai Impor adalah uang yang digunakan sebagai dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak.

4. Nilai Ekspor

Nilai Ekspor adalah uang atau biaya yang diminta oleh eksportir.

5. Nilai Lain

Nilai Lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang diatur oleh Menteri Keuangan.

DPP PPN (Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai) yang diatur dalam Pasal 9 ayat 1 sebagai berikut:

·         Untuk penyerahan BKP atau pemanfaatan BKP tidak berwujud, DPP-nya adalah jumlah harga jual.

·         Untuk pengimporan BKP, DPP-nya adalah nilai impor (definisi nilai impor lihat Pasal 1 angka 20 UU PPN).

·         Untuk pengeksporan BKP, DPP-nya adalah nilai ekspor.

·         Untuk kasus penyerahan BKP/JKP tertentu, DPP-nya adalah nilai lain. Nilai lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan Menteri Keuangan sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas jenis penyerahan BKP/JKP tertentu.

F. Tarif  PPN Terbaru 11% dan Kapan Tarif 12% Berlaku?

Tarif Pajak Pertambahan Nilai terbagi menjadi dua yaitu tarif umum dan tarif khusus.

Sesuai Pasal 7 UU PPN No. 42 Tahun 2009 disebutkan besar tarif PPN sebagai berikut:

1.   Tarif umum 10% untuk penyerahan dalam negeri

2.   Tarif khusus PPN Ekspor 0% diterapkan atas ekspor BKP berwujud maupun tidak berwujud, dan ekspor JKP.

3.   Tarif Pajak sebesar 10% dapat berubah menjadi lebih rendah, yaitu 5% dan paling tinggi 15% sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah.

Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ( UU HPP ), pemerintah menaikkan tarif PPN secara bertahap, yakni:

1. Tarif Umum

·         Tarif PPN 11% berlaku mulai 1 April 2022

·         Tarif PPN 12% paling lambat diberlakukan 1 Januari 2025

2. Tarif Khusus

Sedangkan tarif khusus untuk kemudahan dalam pemungutan PPN, atas jenis barang/jasa tertentu aau sektor usaha tertentu diterapkan tarif PPN final, misalnya 1%, 2% atau 3% dari peredaran usaha, yang diatur dengan PMK.

Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai yang Bisa Dimanfaatkan PKP

Setidaknya ada beberapa fasilitas atau insentif Pajak Pertambahan Nilai yang bisa dimanfaatkan oleh PKP, di antaranya:

1. PPN Tidak Dipungut dan Dibebaskan

Pembebasan PPN diberikan pada Pengusaha Kena Pajak:

·         PKP yang menyerahkan barang/jasa kena pajak tertentu

·         Penyerahan pada perwakilan negara asing

·         Penyerahan pada badan internasional

·         Penyerahan dengan asas timbal balik/resiprokal

Sedangkan PPN tidak dipungut diberikan untuk penyerahan terkait dengan kawasan ekonomi tertentu.

Fasilitas pembebasan tarif Pajak Pertambahan Nilai ini diatur dalam UU PPN Pasal 16B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 jo. UU No. 42/2009.

PPN yang dibebaskan ini memiliki kode transaksi 08, sementara yang tidak dipungut memiliki kode transaksi 07.

2. Fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah (DTP)

Insentif PPN DTP diberikan pada sektor properti yang diatur dalam PMK No.103/PMK.03/2021.

Insentif Pajak Pertambahan Nilai DTP properti ini diberikan untuk penyerahan rumah tapak baru dan unit hunian rumah susun baru.

·         Diskon DTP properti 100% untuk Pajak Pertambahan Nilai rumah atau unit dengan harga jual paling tinggi Rp2 miliar.

·         Diskon PPN DTP properti sebesar 50% untuk rumah atau unit dengan harga di atas Rp2 miliar – Rp5 miliar.

3. PPN Tarif 0%

Pengenaan PPN 0% diberikan pada ekspor barang/jasa kena pajak, yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pajak Pertambahan Nilai.

Pemberian insentif PPN 0% dilakukan perluasan jenis ekspor jasa kena pajak (JKP), yang mulai berlaku sejak 29 Maret 2021, diatur dalam PMK No. 32/PMK.03/2019.

G. Rumus Dan Cara Menghitung Tarif PPN

Perhitungan PPN yang terutang dilakukan dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak ( DPP ).

Proses perhitungan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Pajak Pertambahan Nilai = Tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak ( DPP )

Dasar pengenaan pajak terdiri dari:

1. Harga jual & penggantian

Harga jual dan penggantian adalah biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP/JKP.

2. Nilai ekspor & impor

Nilai ekspor dan impor adalah nilai yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan kepabeanan dan cukai untuk impor BKP atau semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.

3. Nilai lain

Sedangkan nilai lain ini diatur dengan atau berdasarkan PMK hanya untuk menjamin rasa keadilan yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak.

Contoh kasus 1:

Jika di dalam harga jual atau penggantian atau nilai lain belum termasuk PPN, perhitungannya sebagai berikut:

Pada tanggal 3 Juli 2022 terjadi transaksi: PKP PT AAA di Semarang menjual 1 buah kulkas seharga Rp6.000.000 belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai kepada Bapak Kelik di Magelang.

Transaksi menjual di Semarang adalah penyerahan di dalam daerah pabean. Kulkas adalah barang kena pajak, yang menyerahkan kulkas adalah pengusaha kena pajak. Jadi transaksi atau peristiwa ini dikenai PPN.

Transaksi ini tidak mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan.

Besarnya PPN terutang atas penyerahan kulkas pada tanggal 3 Juli 2022 di Semarang dihitung oleh PKP PT AAA di Semarang untuk dipungut dengan Faktur Pajak sebagai berikut:

Harga Jual/DPP PPN  x  Tarif PPN        = Rp6.000.000 x  11%

PPN terutang                                               = Rp   660.000

Bapak Kelik harus membayar ke PKP PT AAA sebesar Rp6.660.000, yang terdiri atas harga kulkas Rp6.000.000 dan Pajak Pertambahan Nilai Rp660.000.

Contoh kasus 2:

Jika di dalam harga jual atau penggantian atau nilai lain sudah termasuk PPN, perhitungannya sebagai berikut:

Pada tanggal 13 April 2022 PKP PT BBB di Surabaya menerima tagihan jasa akuntansi termasuk Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp132.000.000 dari PKP PT CCC di Bandung yang memberikan jasa akuntansi.

Transaksi menagih jasa akuntansi di Bandung adalah penyerahan di dalam daerah pabean, jasa akuntansi adalah jasa kena pajak, yang memberikan jasa akuntansi adalah pengusaha kena pajak. Jadi transaksi itu dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Transaksi ini tidak mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan, sehingga besarnya PPN terutang atas penyerahan jasa akuntansi pada tanggal 13 April 2022 di Bandung dihitung oleh PKP PT CCC di Bandung untuk dipungut dengan Faktur Pajak sebagai berikut:

Harga jual termasuk Pajak Pertambahan Nilai = Rp132.000.000

DPP   =         100        x harga jual termasuk PPN

                 100 + % tarif PPN

            =       100       x Rp132.000.000

                    110

             = Rp120.000.000

PPN terutang = DPP PPN x Tarif PPN

= Rp120.000.000 x 11%

= Rp13.200.000

Jadi, PPN dipungut oleh PKP PT CCC Bandung sebesar Rp13.200.000

Contoh Kasus 3:

Pada Oktober 2022, PT AAA  menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp25.000.000 pada PT BBB.

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 11% x Rp25.000.000 = Rp2.750.000

Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.750.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak PT AAA dari PT BBB.

Selengkapnya cara menghitung PPN dan mengelola Faktur Pajaknya, baca Panduan Lengkap Alur Pengelolaan eFaktur PPN

Ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Jasa Luar Negeri

Pada Pajak Pertambahan Nilai terdapat beberapa objek yang termuat di dalamnya seperti PPN dalam sektor ekspor dan impor Barang Kena Pajak (BKP).

Selain itu juga pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) baik dari dalam maupun luar Daerah Pabean atau Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean maupun PPN Jasa Luar Negeri.

a. Ketentuan Aturan PPN Jasa Luar Negeri

Selanjutnya, terdapat aturan tentang batasan untuk transaksi Jasa Kena Pajak dari luar negeri yang diatur dalam pasal 4 Ayat 1 SE-147/PJ/2010, bahwa Pajak Pertambahan Nilai akan dikenakan atas Jasa Luar Negeri dengan ketentuan sebagai berikut:

1.   Penyerahan dilakukan oleh Orang Pribadi atau Badan yang bertempat tinggal di luar Daerah Pabean.

2.   Pengenaan Jasa Luar Negeri dapat dilakukan di dalam maupun di luar Daerah Pabean, selama kegiatan pemanfaatan jasa tidak menyebabkan Orang Pribadi atau Badan yang bertempat tinggal di luar Daerah Pabean menjadi subjek pajak dalam negeri.

3.   Aktivitas pemanfaatan Jasa Luar Negeri dilakukan di dalam Daerah Pabean.

4.   Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar negeri dimanfaatkan oleh siapapun dalam Daerah Pabean.

5.   Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri tidak melihat status penggunanya, baik Orang Pribadi maupun Badan, atau telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun belum.

Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri bisa terutang, sebab terjadi ketika pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sedang dalam proses pembayaran atau baru saja dimulai.

Dengan catatan pembayaran tersebut diterima sebelum penyerahan Jasa Luar Negeri.

b. Ketentuan Waktu Pemanfaatan Jasa Luar Negeri

1.   Waktu pemanfaatan jasa merupakan saat dimana Jasa Luar Negeri tersebut digunakan secara nyata digunakan oleh pihak yang berkepentingan.

2.   Jasa Luar Negeri dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya.

3.   Terjadi penggantian Jasa Kena Pajak ditagih oleh pihak yang menyerahkan.

4.   Harga perolehan Jasa Kena Pajak dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pengguna. Ditandatanganinya kontrak dan perjanjian yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

5.   Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penggunaan Jasa Luar Negeri harus disetor paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.

c. Cara Menghitung PPN Jasa Luar Negeri

Tarif PPN x jumlah yang seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Jasa Luar Negeri

Selain itu, cara tersebut dapat diterapkan antara pihak pemberi Jasa Luar Negeri dan pihak penerima sesuai kesepakatan.

Contoh Kasus

Perusahaan BBB memiliki beban untuk membayar jasa tenaga ahli dari Singapura yang telah memberikan pelatihan pengembangan personality pada perusahaannya.

Harta tenaga ahli tersebut adalah sebesar Rp600.000.000.

Sementara tenaga ahli yang disebutkan meminta jumlah gaji yang diterima harus jumlah bersih termasuk potongan Pajak Pertambahan Nilai.

Tarif PPN yang digunakan sesuai UU HPP yang sebesar 11%.

Sehingga dalam hal ini, Sobat Klikpajak dapat menerapkan rumus kedua yaitu 11/100 x Rp600.000.000, untuk menetapkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang menjadi beban dan harus dibayarkan untuk jasa tenaga kerja ahli tersebut.

Dari perhitungan tersebut, maka PPN atas pembayaran jasa tenaga ahli dari Singapura itu sebesar Rp66.000.000.

Kapan saat Terutangnya Tarif PPN?

Saat terutangnya PPN adalah ketika transaksi barang/jasa kena pajak dalam tahap seperti berikut:

1.   BKP berwujud diserahkan langsung ke pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli

2.   BKP berwujud/JKP diserahkan langsung ke penerima barang pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri, dan penyerahan antar cabang

3.   BKP berwujud diserahkan ke juru kirim atau pengusaha jasa angkutan (kurir)

4.   Penyerahan BKP berwujud berdasarkan hukum dan sifatnya berupa barang tidak bergerak terjadi saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai BKP berwujud tersebut

5.   Impor BKP yang terjadi saat BKP dimasukkan ke dalam daerah pabean

6.   Pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP dari luar pabean

7.   Perjanjian atau kontrak ditandatangani atau saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, sebagian, atau seluruhnya atas BKP tidak berwujud/JKP

8.   Harga atas penyerahan BKP berwujud atau tidak berwujud/JKP diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau saat diterbitkannya Faktur Penjualan sesuai prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diimplementasikan secara konsisten.

Temukan cara kelola Faktur Pajak lebih cepat langsung tarik data dari laporan keuangan online hanya di e-Faktur Klikpajak. Coba & buktikan sekarang!

Siapa yang Menyetor dan Melaporkan PPN?

Sebagai pemungut PPN atas transaksi penjualan barang/jasa kena pajak, PKP wajib menyetorkan PPN terutang atas pemungutan/pemotongan PPN tersebut dan melaporkan pemungutan pajak pertambahan nilai tersebut setiap akhir masa pajak berikutnya.

Batas akhir pelaporan dan penyetoran PPN adalah setiap akhir bulan masa pajak berikutnya.

Anda juga dapat melihat jadwal pembayaran dan pelaporan pajak lebih mudah dalam Kalender Pajak Klikpajak.

a. Cara Lapor Pajak Pertambahan Nilai PPN

Perlu diingat bahwa lapor Pajak Pertambahan Nilai atau lapor PPN tidak bisa lagi menggunakan e-Filing, melainkan harus lewat e-Faktur.

Untuk mengetahui langkah-langkah cara lapor PPN, ikuti tutorial berikut ini:

·         Cara Pelaporan SPT Masa PPN Terbaru di e-Faktur Klikpajak

b. Cara Membuat Faktur Pajak

Seperti diketahui, DJP telah mewajibkan pengguna e-Faktur untuk melakukan update e-Faktur 3.0 menggantikan e-Faktur 2.2 mulai 1 Oktober 2020.

WP PKP yang selama ini menggunakan aplikasi e-Faktur Client Desktop DJP, harus install dan download patch terbaru untuk update e-Faktur 3.0 pada perangkat komputernya agar bisa membuat eFaktur.

Perhatikan, meskipun PKP pengguna e-Faktur Client Desktop sudah update e-Faktur 3.0, tapi tetap harus berpindah ke aplikasi e-Faktur Web Based DJP di web-efaktur.pajak.go.id saat akan melaporkan SPT Masa PPN.

DJP memindahkan platform pelaporan SPT Masa PPN ke aplikasi e-Faktur.

Jadi, ingat ya… lapor SPT Masa PPN tidak bisa lagi di e-Filing. Tapi wajib di e-Faktur.

Update sistem terbaru e-Faktur 3.0 DJP ini juga harus dilakukan pada server PJAP mitra resmi DJP, seperti Klikpajak.id.

Ketika Anda menggunakan e-Faktur Klikpajak, bukan hanya dapat langsung memanfaatkan fitur prepopulated e-Faktur untuk kelola Faktur Pajaknya, tapi juga bisa lapor SPT Masa PPN di e-Faktur tanpa keluar atau pindah platform.

Terbaru, DJP kembali memperbarui sistem e Faktur terbaru pada eFaktur 3.1.

Dalam sistem e-Faktur 3.1 ini ada beberapa perubahan dalam pengelolaan Faktur Pajak elektronik.

c. Cara Bayar/Setor Pajak Pertambahan Nilai Mudah & Cepat

Setelah mengetahui tentang Pajak Pertambahan Nilai hingga tarif terbaru serta apa saja barang/jasa yang dikeluarkan dari daftar negative list PPN, berikut Anda akan mengetahui cara setor atau bayar PPN dengan mudah dan cepat melalui e-Billing Klikpajak.

Ingat, sebelum bayar atau setor pajak ke kas negara, Anda harus membuat Kode Billing dari DJP terlebih dahulu sebagai syarat bayar pajak.

Setelah mendapatkan Kode Billing dari DJP, selanjutnya membayar/menyetor pajak melalui ATM, internet banking atau teller bank/pos persepsi.

Kini ada cara mudah dan cepat bayar/setor PPN terutang. Anda dapat menyetorkan PPN terutang langsung dari halaman SPT Masa di e-Faktur Klikpajak.